Persembahan dari Giant Pearl
“Bagai si cebol rindukan bulan”
Mempunyai
perasaan terpendam memang sulit, apalagi untuk tetap menjaga perasaan itu tetap
ada. Meski orang yang disukai tidak ada di sekitar kita lagi. Perasaan
terpendam mungkin memaksa sang pemilik perasaan untuk tetap memendam
perasaannya tanpa mengekspresikan perasaannya terhadap siapapun meskipun pada
hembusan angin.
Setiap waktu
baik tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik perasaan ini harus tiada
seorangpun yang mengetahuinya. Begitu pula aku, aku punya perasaan terpendam
kepada seseorang yang memang awalnya hanya berkedok suka. Aku menyukainya
(titik). Tidak ada perasaan apapun lagi setelah itu.
Namun, semakin
lama, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya menjadi sebuah perasaan yang
tingkatnya lebih tinggi dari rasa suka, menjadi rasa kagum, kemudian rasa kagum
itu tumbuh dengan cepat menjadi rasa yang tingkatnya lebih buta dan lebih
ekstrim. Aku menyebutnya cinta.
Bagiku cinta ini
tidak ada yang boleh mengetahuinya. Tidak ada yang harus tahu tentang cintaku.
Biar aku, hatiku dan Tuhanlah yang mengetahuinya. Sudah lama perasaan ini
terpendam di hatiku, mungkin karena terlalu lama ku pendam, rasa itu telah
mendarah daging di tubuhku.
Aku mengubah
kata dari ‘Aku menyukainya’ lalu ‘Aku mengaguminya’ menjadi ‘Aku mencintainya’.
Aku merasa sangat bahagia mempunyai perasaan ini. Bagai sebuah keberuntungan
untukku. Ketika bertemu secara tak sengaja, aku merasa seperti diberi Tuhan
sebuah kejutan yang spesial. Memandangnya dari kejauhan merupakan sebuah hal
sia-sia yang tidak pernah ku kecewakan.
Orang yang
membuatku seperti orang bodoh adalah kakak kelasku, dialah yang membuatku
seperti orang idiot. Tapi aku beruntung, karena dialah yang membuatku idiot.
Aku merasa beruntung.
Dialah laki-laki
bernama Zakki Fairuz. Lahir di Jakarta, yang lebih tua 41 bulan dariku. Ka
Zaki, aku memanggilnya. Lelaki tampan, dan menurutku ketampanannya yang sangat
keterlaluan. Badannya proposional, dengan tinggi lebih dari 1,7 m, berkulit
putih susu, apalagi bibir peach tebalnya yang selalu tersenyum, membuat
rasa cintaku semakin lama semakin besar.
Perasaan ini
sukses aku sembunyikan selama 2 tahun. Namun, perasaan ini akhirnya terbongkar
saat acara wisuda angkatan ka Zaki, aku datang ke acara itu dan memberinya
sebuah hadiah yang merupakan barang berhargaku-boneka koala yang ayahku beli
dari Australia-yang ku bungkus tengah malam, dengan perasaan yang berbunga, dan
ketika aku memberikannya kepada ka Zaki, dia menerimanya.
Dan mulai saat
itu, perasaanku yang terpendam hancur, menjadi pengharapan. Seperti keajaiban,
dia menerimaku sebagai pengagumnya, bukan sebagai orang yang mencintainya. Aku
terlalu berusaha untuk menjadi dekat dengannya, dan akhirnya orang-orang yang
semestinya tidak perlu mengetahui perasaanku, malah menjadi tahu perasaanku
yang suci ini. Aku lelah dengan omongan-omongan kosong mereka.
Di saat-saat
terakhirku sekolah, aku selalu menghabiskan waktu dengan belajar kelompok dan
membicarakan tentang universitas untuk kelanjutan sekolah kami. Pada hari itu,
hari Jumat, ketika seluruh siswa-siswi kelas dua belas tengah sibuk menjalankan
ujian praktek, dan kelasku mendapat bagian praktek sastra Indonesia.
Ketika, kami-aku
dan teman-temanku-sedang menghapal puisi yang akan dipraktekan nanti, dari arah
kantin, temanku berteriak (agak) histeris, lalu berteriak di depan telingaku,
membuat konsentrasiku pecah.
“Upiii!!! Lihat
deh itu!!! Ada ka Zaki tuh!!! Lihat piiii!!!” teriak Deby, sambil memukul paha
kananku. Entah kenapa, setelah mendengar nama ka Zaki, aliran darah di tubuhku
mengalir sangat cepat bahkan aku merasa jantungku berdebar begitu kencang, aku
merasakan kedua telingaku memanas, bahkan kakiku melemas. Langsung saja, aku
menengok ke arah yang Deby tunjukkan, dan benar, disana ada ka Zaki.
Ya Tuhan!!
Setelah sekitar 4 bulan tidak berkomunikasi dengannya bahkan tidak melihatnya,
dia, ka Zaki, kadar ketampanannya semakin menjadi. Sangat keterlaluan. Nafasku
bisa berhenti sekarang. Sial!!! Kenapa di pagi menuju siang ini, ada malaikat
tampan yang membuatku kehilangan pikiran seperti ini?!
Semakin lama langkah
ka Zaki(dan teman-temannya), semakin mendekati kami, sial aku tak bisa berhenti
tersenyum. Pipiku memanas, mungkin mukaku benar-benar merah. Klik. Mata kami
bertemu. Mataku tidak bisa berhenti menatapnya. Dan lebih sialnya, dia
tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku.
“Ka Zaki...”
panggilku dan aku ikut melambaikan tangan ke arahnya. Aku bahkan tidak
mendengar jelas, ketika kedua temanku, memanggilku dan meledekku tentang ka Zaki.
Pikiranku, mataku, perasaanku, hatiku terpusat pada orang itu, ka Zaki.
Dia dan temannya
ada dihadapan kami, dia hanya tersenyum dan aku ingin melihatnya, tapi itu
terlalu vulgar. Akhirnya, aku bertanya agar aku dapat melihat wajah tampannya
yang mungkin bisa membuatku pingsan saat itu juga. “Ka Zaki, sombong. Gue SMS
gak dibalas...” oke, cukup basa-basinya, sekarang kau bisa mendengar suaranya
yang kau rindukan selama 4 bulan ini.
“Gue bertapa di
Jogja, handphone gue hilang, nomor gue ganti...” katanya, ya, dia
bicara, ohh suara yang sangat kurindukan. Akhirnya aku bertemu denganmu.
“Berarti handphone baru dong” , ka aku minta nomor baru kakak juga, please.
Sialan. Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Dia mengeluarkan handphonenya
dan menunjukkan padaku, seperti biasa, dia sombong. Maklum, dia tampan.
Ka, minta nomor
baru kakak. Tidak, tidak, aku tidak bisa mengatakannya. Itu terlalu vulgar.
“Piu, kelas lo lagi praktek apa?” tanyanya tiba-tiba, karena teman-temanku dan
teman-teman ka Zaki yang terus meledekku karena kedatangan ka Zaki. Ternyata ka
Zaki juga risih dengan omongan kosong yang tidak tahu bagaimana rasanya
dikagumi orang lain. “Nanya-nya sama Upi doang...” ucap ka Kiran(teman
seangkatan ka Zaki yang juga dekat denganku dan teman-temanku) kembali meledek
ka Zaki. “Tahu nih ka Zaki” Tasya temanku yang kembali ikut meledek ka Zaki.
“Kan gue cuma
kenal sama Piu” ucap ka Zaki singkat, kemudian karena aku duduk paling ujung
kursi, dan masih tersisa sedikit. “Piu, geser dikit dong, capek gue denger
temen-temen lu sama si Kiran ngomong mulu” aku terkejut ketika ia mendaratkan
pantatnya disampingku, tapi aku menurut padanya. Tidak, jangan seperti ini.
Kalau ka Zaki duduk di sampingku, aku akan benar-benar lupa caranya bernafas
kak. I can die just now.
Aku membelakangi
ka Zaki karena aku takut debaran di jantungku terdengar. Aku ikut merumpi di
bagian yang lain. Namun, dia memanggilku, “Piu”, Piu adalah nama yang ku
simpulkan sebagai panggilan kesayangan ka Zaki kepadaku. Bagaimana tidak,
ketika teman-temanku memanggilku dengan nama Upi atau Zulfya (nama asliku),
tapi ka Zaki memanggilku dengan Piu. Beruntung sekali bukan diriku ini?
Aku menengok,
tanpa mengubah haluan badanku. Aku masih ragu dengan kondisi debaran jantungku
yang detaknya belum menurun dari detak sebelumnya, masih stabil. “Nomor handphone
lo berapa? Biar gue save” katanya tanpa memandangku, pandangannya
terpaku ke monitor ponselnya. Dari palung hatiku terdalam aku ingin histeris.
Bagaimana tidak? Orang yang kusuka menanyakan nomor ponselku. Tenang, tenang,
jangan terlalu vulgar, sial aku tidak bisa menyembunyikan senyumku yang penuh
arti. Bahkan ka Zaki terganggu, “Kenapa lo senyum-senyum gitu? Aneh dah” ,
walaupun aku mencoba memasanga wajah poker face sekalipun, aku tidak
bisa, payah.
Setelah aku
menyebutnya, aku bisa melihatnya sedang menyimpan kontak dengan nama ‘Piu
Idiot’. Lalu, dia menghubungi nomor yang ku sebutkan, namun tak dijawab. “Lo
gak bawa handphone?” tanyanya, sambil menyentuh tombol end up.
Aku hanya menggeleng atas pertanyaannya, “Eiii pantes” , ucapnya sambil
berdecak kesal. Aku hanya mentertawakannya. Aku masih canggung untuk melakukan
komunikasi dua mata dengan orang tampan yang bahu kirinya sekarang sedang
tertempel dengan bahu kananku. Ku mohon, debaran jantungku tidak sampai ke
bahuku.
“Karin, kita
udah nggak ngapa-ngapain kan? Balik yuk ke kampus” kata ka Zaki sambil berdiri.
“Eh iya, kita kan harus lapor dulu ke ketua, yaudah yuk buruan, duluan ya
adik-adikku yang manis” kata ka Karin kepada kami. “Ayo cabut guys! Gue
balik dulu ya, Piu..” lagi-lagi ka Zaki hanya pamit kepadaku, membuat
teman-temanku sedikit cemburu. “Ih, ka Zaki cuma anggap Upi doang. Tapi Pi, ka
Zaki makin kesini makin ganteng ya, gilakkk!!!” teriak histeris Deby ketika ka
Zaki dan kawan-kawan lenyap dari pandangan kami, yang disetujui oleh Tasya,
bahkan Risa yang sudah mempunyai pacar juga mengakuinya “Iya, ka Zaki makin
kesini makin ganteng Pi, kamu harus jadian sama dia, Pi” kata Risa yang
membuatku geleng-geleng kepala.
“He is just my
Star. Eventough he is near me, the reality I can’t reach him” ucapku sambil
menepuk pundaknya, “Lagian, kalau aku jadian sama ka Zaki, Bima mau aku
kemanain, Ris?” lanjutku kepada Risa yang memang benar-benar polos. “Yaudah Pi,
lo kan udah punya Bima, ka Zaki buat gue aja ya?” kata Deby yang memang di
antara aku, Tasya dan Risa hanya dialah yang menjomblo. Tapi dia mengaku
sebagai Single. “Kepala lo.” elakku, aku tak bisa membiarkan teman terdekatku
menjadi pacar ka Zaki, tidak sudi. “Ih marukkkkk” rengek Deby, “Bodoooo”
balasku, Tasya dan Risa hanya mentertawakan aku dan Deby.
Kelas kami
menyelesaikan praktek pada pukul 2, ketika di umumkan remedial, nama kami
berempat (Aku, Tasya, Deby dan Risa), tidak disebutkan akhirnya kami memutuskan
untuk belajar kelompok yaitu mata pelajaran yang akhir-akhir ini menjadi obsesi
kami bersama yaitu matematika-sama*. Kami berjanji akan mendapatkan
nilai di atas 9,00 di Ujian Nasional nanti. Kami memutuskan belajar di rumah Deby,
yang berada di Cipondoh, Tangerang.
Rumah Deby
sangat bagus, rumah tiga lantai plus atap rumah yang sederhana yang bisa
merasakan sepoi-sepoi angin dengan tema Beach, ketika berada disini kami
serasa berada di pantai. Kami mulai belajar yang di mulai dari pukul tiga sore
sampai pukul lima sore. Setelah dijamu dengan mie goreng dan kue-kue kering
(ini yang kami suka), kami tidak beranjak pulang, bahkan Deby meminta kami
untuk menginap, sekalian sudah gelap. Tapi, Risa ada janji dengan Kevin, pacar
Risa yang seangkatan dengan kami, namun berbeda kelas. Beda dengan aku dan
Tasya yang mempunyai pacar yang super cuek, titik.
“Jangan bilang,
Risa dijemput sama Kevin?” dugaku dan Risa dengan polosnya menganggukkan kepala
“Maaf ya, tadi aku udah bilang nggak usah soalnya ada Tasya sama Zulfy, tapi
dia ngotot mau jemput, maaf ya” , aku dan Tasya mau tak mau harus merelakan
Risa yang sekitar 20 menit lagi akan dijemput pangerannya.
“Iri deh sama
Risa, yang punya Kevin, coba aja Fathur kayak gitu” keluh Tasya, aku dan Risa
hanya senyum-mingkem saja, “Sama Sya, lo sama kayak gue, andaikan aja Bima...ah
sudahlah” ucapku menerima realistas bahwa pacarku memang
cuek-bebek-bengek-banget.
Akhirnya ketika
Risa dipamit, kami juga ikutan pamit ke Deby dan ibunya, yang super baik hati.
Kami menunggu di halte terdekat dan merelakan Risa yang dibawa pergi Kevin.
“Ihhh iriiii...Andaikan Fathur punya perhatian kayak Kevin” ucap Tasya sambil
menyenderkan kepalanya di pundakku yang lebih tinggi dari pundaknya. “Sudahlah
nak, dengan memilikinya sebagai milikmu, kau harus patut bersyukur nak”
nasihatku seperti nenek-nenek kepada cucunya, Tasya hanya menganggukan
kepalanya. Akhirnya bus yang kami tunggu datang, kami naik dan duduk
bersebelahan.
“Oh iya, Pi,
Bima tahu kan kalau lo tetep suka sama ka Zaki?” tanya Tasya, “Dia tahu kok,
tapi ya bagaimana pun, kalau cowok tahu ceweknya suka bahkan cinta sama cowok
lain, dia pasti kecewa lah. Bahkan pas seminggu jadian juga, gue minta putus,
tapi dia berlagak bakal pertahanin hubungan ini, yaudah gue nunggu dia nyerah
aja” ucapku pasrah mengingat bagaimana Bima dengan kuatnya mempertahanku
sebagai pacarnya, meskipun dia tahu bahwa pacarnya ini (aku) suka kepada lelaki
lainnya.
“Pas lo ditembak
sama Bima, lo bilang kalau rasa suka lo ke dia cuma ‘penasaran’ doang kan?”
tanyanya lagi sambil merebahkan kepalanya ke bahuku lagi, dan aku merebahkan
kepalaku di atas kepalanya. Aku bisa melihat tatapan orang-orang di dalam bus,
melihat kami bagai sepasang pasangan lesbian. Masa bodo lah.
“Iya, pas dia
nanya ‘How‘bout u’r feeling to me?’ ya gue jawab sejujur-jujurnya ‘I
see U as boy who look like the boy who I love’ dia nanya lagi ‘Who’s
that?’ ya gue jawab ‘Like you’. Dia nanya gitu pas jadian hari
kedua. Gue yakin dia nggak ngerti apa maksud gue, mungkin pengertiannya, dia
orang yang gue suka” jawabku panjang lebar.“Iya kali Pi, dia anggep ‘Like
you’ –nya itu dia. Berarti dia pede-an juga ya, hahaha” kami berdua tertawa
renyah “Terus kapan dia tahu, kalau perasaan suka lo masih sama buat ka Zaki?”
lanjut Tasya.
“Pas Desember
tahun lalu, yang gue ngerasa bener-bener down. Ya emang untuk pertama kalinya
gue cerita tentang masalah gue ke Bima, ya gitu Bima orangnya, gue cerita
panjang lebar sambil bercucuran air mata, dia cuma bilang ‘Udah lupain aja,
nanti ilang sendiri ko’, gimana perasaan gue bakal lepas kalau dia bilang
gitu. Yaudah tanpa rasa bersalah, gue minta ijin ke Bima kalau gue pengen
curhat sama ka Zaki, sebagai salah satu energi positif kehidupan gue. Dia nggak
bales sms, chat gue, bahkan gue nelpon nggak diangkat Sya. Yaudah gue nekat
ketemuan sama ka Zaki, dia jemput gue di depan sekolah. Gue bener-bener gila,
gue nggak peduli Bima, gue cuma pengen ketemu ka Zaki. Abis gitu lu liat
sendiri kan, ka Zaki update di sosmed-nya pake foto gue, pantes ajalah
gue kena jutek pacar gue. Besoknya, Bima bener-bener ngambek sama gue, bahkan
di tempat latihan karate pun dia nggak mau ikut kelas gue, padahal gue senpai-nya
di situ. Oke gue ngerasa bersalah, gue minta maaf, bahkan ke rumahnya, pas
nyampe pun gue di diemin, Sya” ucapku sambil flash back pada kesalahan
fatalku, yang membuatku merenung bahwa Bima memang benar-benar suka kepadaku.
Buktinya ketika ia tahu, aku yang terang-terangan selingkuh, dia tetap
memaafkanku.
“Lo juga yang gila
Pi. Sumpah lo nekat banget. Untung ka Zaki pas itu nggak punya pacar, coba ka
Zaki ada pacarnya, abis dah lo” benar, aku menyetujui kata Tasya tentang
kegilaanku.
“Lo tuh kalau
peribahasanya, ‘Bagai si cebol rindukan bulan’ ke ka Zaki, terus kalau
ke Bima, ‘Berteduh di gubuk semalam, pergi esok hari ke istana tanpa bersapu’
kasian deh Bima...” sindir Tasya, “Tapi akhir-akhir ini rasa cinta gue
bertambah ko ke Bima” aku berargumen kepada Tasya bahwa memang aku sedang
belajar lebih mencintai Bima daripada ka Zaki. Semoga ini bukan hanya di
mulutku saja.
“You lied.”
potong Tasya , “Beneran. Ciusss!!!” elakku tapi tetap saja Tasya meledekku “You
lied. You lied wleeee”. Tak terasa sudah pukul setengah delapan malam, kami
turun di halte yang sama, dan kami akan menunggu angkutan yang masing-masing membawa
kami ke arah yang berbeda. Namun, di sela waktu tunggu kami, ponsel Tasya
berdering. Aku bisa melihat kontak namanya ‘Fathur Pacal Q’. Ewh lebay.
“Ssst. Fathur
nelpon gue...” Tasya mengangkat dan menginstruksikanku untuk berdiam. Aku lebih
memilih mendengar musik dari I-Pod dari pada harus mendengar orang berpacaran.
Ketika musik mulai bermain, aku mengurungkan niatku untuk itu, dan penasaran
dengan Fathur dan Tasya. Aku menguping sajalah, dengan mendekat Tasya.
“Aku ada di
halte dekat mini market Biru. Kenapa Thur?” tanya Tasya, “Mau sih, tapi aku
nggak sendirian, aku nggak enak ninggalin Upi sendirian.” kata Tasya sambil
menatapku iba. Hei, Tasya kau tak perlu sebegitu kasihan kepadaku. Tapi, aku
tidak ingin ditinggal olehmu. “Ha? Kamu ada dirumah Wisnu? Disitu ada Bima
juga? Ini udah malem Thur, aku nggak boleh main. Oh gitu. Ya, ya tunggu.” Tasya
menutup ponselnya dan menatapku ‘Kita harus pergi sekarang’. Dan aku
mengikutinya.
Dengan berjalan
sekitar 10 menit kami sampai di rumah Wisnu yang tidak begitu jauh dari halte.
Tapi lumayan jauh dari rumahku dan rumah Tasya. Aku melihat ada Fathur keluar
dan melambai ke Tasya. Aku menatap Tasya “Noh, si pacal” ledekku “Iya udah tau
keles” balas Tasya. Setelah Fathur keluar, aku mendengar Fathur memanggil Bima,
“Bim, tuh si Upi udah nungguin” teriaknya, aku juga mendengar suara orang yang
ku kenal membalas teriakan Fathur “Bentar, gue ngambil kunci motor dulu”, iya
suara Bima.
Fathur
mengendarai motor-bukan miliknya-dan menuju kami berdua-maksudku hanya Tasya-dan
meledekku. “Hai, anak kecil, duluan ya. Bima bentar lagi keluar, tungguin aja.”
Bukannya menyambut Tasya, ia malah mengajakku ngobrol. “Enak aja anak kecil,
dasar autis” balasku kepada Fathur yang menjuluki diriku Anak Kecil. Walaupun
aku kakak kelasnya, umurku lebih muda 1 tahun darinya. Dan Fathur hanya berbeda
3 bulan lebih tua dari Bima. “Gue duluan ya Pi” mereka-Fathur dan Tasya-melesat
pergi.
“Weh, Wisnu gue
balik ya. Inget tuh besok” suara bass Bima yang datar terdengar dan dibalas
oleh Wisnu “Yoi...”. Aku melihat Bima mendatangiku dengan mengenderai sepeda
motor milik ayahnya dengan tersenyum. Entah kenapa, Bima sangat mirip dengan ka
Zaki. Bahkan senyumannya. Ingat Upi, dia adalah Bima bukan Zaki.
“Tadi pulang
sore?” tanyanya, dan aku menjawab “Iya, sebenernya aku bisa pulang jam 1 sih,
tapi Risa sama Deby dapet antrian 30-an, terus juga kita janjian buat belajar
bareng.” jawabku sambil bertengger di jok belakang Bima. “Pantes tadi aku ke
rumah kamu, kamunya nggak ada. Aku nge-chat kamu, tapi nggak ke kirim.” kata
Bima yang aku artikan sebagai ‘Kok nggak balas chat?’, “Iya, maaf ya,
aku cuma bawa I-Pod, nggak bawa handphone. I’mma sorry” ucapku
sambil berlagak manis, ingin mendapat perhatian dari pacar, itu wajar kan. “No,
prob” jelas,singkat, padat, dan aku hanya bisa membalas “Thank you”
Setelah sekitar
14 menit dijalan, aku sampai dengan sehat, selamat dan seluruh tubuhku masih
dalam keadaan utuh, aku bersyukur. “Terimakasih atas tumpangannya” aku
membungkuk 90 derajat, dia pun terkekeh. Sungguh, aku sangat menyukai
kekeh-annya yang sangat keren.
Aku belum masuk
kerumah karena Bima pun belum menghidupkan mesin motornya, berarti dia ingin
mengucapkan sesuatu. Aku menunggunya, dan akhirnya dia mengatakannya. “Tadi di
sekolah liat gak, ada Favorit kamu”, ucapnya tiba-tiba membuka percakapan yang
membuat darahku berhenti mengalir sejenak. “O..oh...kamu liat juga? Iya tadi
ketemu juga kok” kataku tidak menatap bola mata Bima, yang mungkin sangat
kecewa. “Pasti kamu bahagia banget kan ada idol kamu. Lisa bilang, kamu seneng
banget bisa ketemu ka Zaki” katanya yang aku artikan sebagai sindiran. Oke aku
mulai merasa takut. Jujur ketika aku bertemu dengan ka Zaki aku tidak pernah
merasakan Bima melintas di pikiranku. Tapi, ketika aku berhadapan dengan Bima,
ka Zaki selalu ada dipikiranku.
“Oh tadi Lisa
liat ya? Eem...Iya aku seneng banget, soalnya udah 4 bulan nggak komunikasi.
Kan dia udah kayak abang aku, ya aku beruntung bisa ketemu dia” ucapku
apa-adanya, aku tidak bisa berbohong, dan lagi Bima tahu kalau aku adalah orang
yang apa-adanya. Bima tersenyum renyah, tidak ada kasih sayang dalam
senyumannya. Iya Bim, aku tahu kamu kecewa.
“Kamu pasti
capek, masuk gih. Bersihin badan dulu baru tidur ya. Jangan lupa baca doa,
nanti kalau lupa aku bakal nyamperin kamu di dalem mimpi. Waaaaa” ucapnya
dengan memperagakan setan, aku tertawa terpingkal. Bim, kamu baik hati banget
sih. Sebelum menarik gas motornya, ia menarik pipiku dan berkata “Dasar tembem,
aku pulang ya” aku merasakan sakit tapi tak apa jika itu adalah tanda cinta.
“Dasar adik kelas kurang ajar, hati-hati ya Bim” ucapku sambil melambaikan
tangan, dari kejauhan aku hanya bisa melihat siluet Bima yang gagah dari
belakang, tiba-tiba aku teringat ka Zaki lagi.
Aku berjalan
mendekati rumah, setelah menghilangkan imej ka Zaki yang selalu ada pada diri
Bima. Aku yakin aku akan kena sembur ayah, lagipula ini sudah pukul delapan
malam lewat dua puluh tiga menit. Dan benar saja, ketika aku membuka pintu dan
memberikan salam, “Darimana aja sih? Ayah telpon nggak diangkat, jam segini
harusnya belajar, bukannya keliaran malam-malam” aku terdiam. Oke, ketenanganku
yang baru saja tercipta harus hancur dengan omongan tak guna yang keluar dari
mulut orang tua berumur 54 tahun. “Upi mau istirahat. Dah” ,aku tidak peduli
dengan ucapan apa yang akan keluar dari mulut ayah kemudian. Aku mengunci
kamar, membersihkan badan, tanpa sadar air mataku keluar, dan dadaku sesak. Aku
kesal dengan ucapan ayah tadi. Dia tidak tahu apa yang telah ku lakukan sehari
ini, dan meskipun aku mengatakannya, dia pasti takkan percaya.
Kenapa sih, ayah
tidak peduli dengan anak perempuan satu-satunya ini. Setiap pulang pasti
langsung diperintahkan untuk belajar ini, belajar itu. Aku tidak hidup untuk
belajar, tapi aku belajar untuk hidup. Ayah tidak tahu kan, kalau sehari tadi
aku membantu teman-teman menghapal puisinya, sedangkan aku sudah menghapal
puisiku sendiri. Ayah tidak mengerti kan, bagaimana menyelesaikan soal
matematika aljabar yang tingkat kesulitan sangat tinggi, tapi aku menyelesaikannya
sedangkan teman-temanku tidak mengerti dan aku yang mengajarkan mereka cara
menyelesaikannya. Ayah tidak pernah mau tahu kan, kalau selama ini aku tidak
pernah meminta uang jajan lagi ke ayah, selain Rp. 15.000 yang setiap hari ayah
beri di pagi hari ketika sarapan, karena aku bekerja di website sebagai penulis
artikel bahasa inggris.
Asal ayah tahu,
seharusnya ayah yang banyak belajar lagi. Bagaimana menjadi ayah yang baik? Aku
perhitungan? Iya, karena ayah tidak menyayangiku. Andai, ibu bisa kembali ke
dunia dari surga, tapi ibu lebih memilih surga daripada dunia yang penuh dengan
kestressan dan kegilaan yang infiniti ini. Aku mengusap air mata dan meminta
maaf kepada Tuhan tentang ayah, berdoa agar esok lebih baik dari hari ini, dan
aku selalu meminta agar segala urusanku dimudahkan oleh Tuhan.
Hari minggu yang
cerah seperti biasa, setelah hari Sabtu sebelumnya diguyur hujan, aku melakukan
jogging dengan teman-temanku di sekitar komplek rumah Fathur yang sepi dan
luas. Kami bertujuh (aku, Bima, Tasya, Fathur, Wisnu, Khoir, dan adikku,
Qiyas-yang memaksa ikut) melakukan pendinginan seusai berjogging selama 3 jam.
Setelah mengobrol santai, Fathur mengajak kami untuk sarapan dirumahnya. Wah,
teman yang baik.
Setelah mengisi
bahan bakar, aku merasa sangat lelah dan ingin tidur sebentar sampai pukul 12
siang. Aku dan Qiyas pamit, Bima yang tadi bilang ingin bermain game di rumah
Fathur, mengatakan akan mengantarku pulang. “Nggak usah Bim, ada Qiyas ini.
Udah kamu main aja sama Fathur” ucapku lemas, karena semalam aku begadang untuk
deadline menulis artikel tentang trik mengatasi aljabar dalam konteks
bahasa Inggris di website tempatku bekerja.
Tapi dengan
keras kepala dia mengatakan akan tetap mengantarku pulang. Aish, pacarku baik
sekali, yasudah lah dia memaksa. Qiyas, bukannya ikut dengan kami berdua, dia
malah ikut bermain dengan Fathur dan yang lain. Ah sudahlah, lupakan Qiyas,
sekarang ada Bima di sampingku.
Selama di jalan
aku selalu menempel di pundak Bima, untung bentuk badanku dan dia tidak begitu
jauh. Aku 166,5 cm dengan berat 54 kg dan Bima tinggi badannya 169 cm dengan
berat 50 kg. “Bim, berat gak. Maaf ya, aku lemes banget” ucapku dengan lemas,
tanpa babibu, tiba-tiba dia menyerahkan punggungnya, dan bilang “Cepetan naik,
kalau kamu pingsan di punggung aku bagus kan, daripada jatoh dijalanan”. Ahhh
surga sekali, tapi aku sedikit meragukannya. “Aku kan berat, nggak apa?” dia
hanya mengangguk dan dengan pelan-pelan aku naik ke punggungnya. Ahh rasanya
seperti di surga. Dan seperti yang Bima bilang, aku benar-benar pingsan.
Saat sadar, aku
sudah ada di kamarku. Kepalaku sakit, aku menghela napas berat. Tahukah? Saat
mataku pertama kali terbuka saat bangun tidur, otakku langsung menampilkan
wajah ka Zaki. Entah kenapa setiap aku memikirkan ka Zaki, aliran darah
ditubuhku mendesir, wajah dan kupingku memanas. Aku tidak bisa berhenti
tersenyum. Sampai saat ini, perasaan cintaku sudah ku jaga selama 3 tahun,
walau sudah terbongkar, bahkan ka Zaki mengetahuinya, semakin besar dan semakin
mendalam.
Entah kenapa,
aku bisa jatuh cinta pada ka Zaki. Aku tidak tahu kenapa harus ka Zaki yang
membuatku jatuh cinta. Aku juga tidak tahu bagaimana awalnya aku bisa
mencintainya. Ya, aku hanya melakukannya. Aku hanya mencintainya. Tak perlu
alasan apapun. Kalau aku memikirkan ka Zaki, aku merasa berendam di lautan
madu. Begitu bahagia dan menyenangkan. Aku tidak bisa berhenti tersenyum ketika
memikirkannya (bahkan ketika aku menulis cerita ini). Aku segera merebut salah
satu foto yang bertengger di meja kecil yang berada disamping kasurku. Foto
yang menampilkan sesosok sempurna ka Zaki yang berhasil ku dapatkan dengan
kameraku sendiri. Aku memandangnya lama, aku menciumnya, aku mendekapnya, aku
menerbangkannya ke langit-langit. Dan saat itu juga, aku kembali tertidur
dengan memeluk foto ka Zaki.
H-12 jam sebelum
T.O UN ketiga hingga menjelang UN, bahkan pada hari-H UN, aku menggunakan jimat
yang telah aku persiapkan. Aku mempersiapkan jimat keberuntungan yaitu foto ka
Zaki yang sedang tersenyum. Melihat fotonya saja sudah membuatku tersenyum.
Apalagi memiliki dia sepenuhnya, mungkin aku harus bersiap-siap mati setelah
itu.
Mencintai dua
laki-laki sekaligus, adalah sebuah kesalahan fatal yang membuatku merasa seperti
orang yang paling bodoh. Ka Zaki, cinta pertamaku yang membuat diriku menjadi
orang idiot, tapi dia menerima keberadaanku yang mungkin membuatnya risih. Tapi
saat ku bertanya apa aku menganggunya, dia menjawab bahwa dia menikmatinya.
Bima, pacarku, yang mempunyai siluet yang sama dengan ka Zaki. Awal
ketertarikanku pada Bima, ketika ia tersenyum aku melihat ka Zaki ada didalam
dirinya.
Aku sangat
mengecewakan Bima. Aku menerima Bima, tapi aku selalu menyakiti Bima. Aku
berbuat salah, Bima memaafkanku tanpa kuminta. Sudah hampir 10 bulan aku
menjalani hubungan. Aku dan Bima berpisah tempat, kami tidak bersekolah di tempat
yang sama. Aku sekarang menyandang status mahasiswa di salah satu universitas
negeri di Jakarta mengambil jurusan sastra Rusia, dan kini Bima naik kekelas
sebelas, dia sudah menjadi kakak kelas. Kudengar, ketampanan Bima populer
dikalangan adik kelas.
Aku dan Bima janji
bertemu disebuah kafe kecil di salah satu pusat jejeran ruko di Jalan Perumahan
Citra 6. Aku memesan kopi latte dan waffel, Bima memesan jus jambu dan kentang
goreng. “Bim, aku denger kamu populer lho, bahkan ada adik kelas yang bikin
blog pribadi tentang kamu, aku udah visit blognya” kataku memuji
kepopulerannya, dia terkekeh “Adik kelas aneh tuh. Lagian kamu juga sama kan,
kamu juga punya banyak fans di sekolah, kamu kan author ternama” kata Bima balik
memujiku, “Itu kan dulu, aku udah jarang nulis cerpen lagi. Tapi bener juga sih
Bim kata adik kelas itu” aku mengingat kata adik kelas Bima yang mengatakan
satu fakta tentang Bima.
“Apa? Emang dia bilang
apa?” tanyanya penasaran “Dia bilang gini ‘Dari SMP, ka Bima udah ganteng,
makin kesini tambah ganteng, apalagi nanti pas kuliah, pasti ganteng banget’,
aku setuju sama kata-kata adik kelas yang fans kamu itu” ucapku membuat dia spechless,
aha! Kena kamu Bim. “Yaudah emang aku ganteng, mau gimana lagi. Takdir itu mah.
Hahaha” Skak Mat! Dibalik semua kebaikan hatinya, dia juga sombong ternyata.
Sudahlah.
“Katanya kamu
mau ngomong sesuatu? Tentang apa?” , DEG!, ketika Bima bertanya tujuanku ingin
bertemu dengannya memang awalnya aku ingin jujur tentang perasaanku padanya.
Perasaan yang
seharusnya tidak boleh ada, perasaan yang bisa membuatnya benar-benar kecewa.
Aku ingin mengatakan semuanya. Bim, sebenarnya aku tidak menyukaimu sepenuhnya.
Aku hanya menyukai siluetmu. Aku menyukai ka Zaki yang ada didalam dirimu. Aku
tidak pernah melihatmu sebagai Bima Alvian, tapi sebagai Zakki Fairuz. Kamu dan
ka Zaki punya cara senyum yang sama, punya cara jalan yang sama, punya cara ketawa
yang sama. Tapi kamu mempunyai sifat dan keadaan yang berbeda. Kamu yang
mengagumiku dan aku mengagumi yang lain.
Ini licik bukan?
Ketika kamu berusaha untuk menyadarkan bahwa ada sweater hangat yang mendekapku,
namun aku selalu meraba langit untuk memetik bintang di angkasa tak tergapai.
Aku seperti si cebol yang merindukan bulan bukan? Aku berharap pada hal yang tak
mungkin ku dapatkan. Tapi aku selalu berharap ketika suatu saat nanti
bintangku, cintaku yang jauh di angkasa, akan ku gapai ketika aku sudah bisa
berubah menjadi bintang dan meninggalkan sweater hangat.
Tapi mulut licikku
tidak bisa mengumbarnya. Aku terlalu takut kehilanganmu, sweater hangat yang
berbentuk bintang. Siluetmu sangat mirip dengan bintang di angkasa sana. Suatu
saat ini ketika rasa kecewamu meluap, kau boleh memukulku aku akan menebus
semua dosa yang telah kusembunyikan.
Lagi-lagi aku
terdiam, dan Bima hanya bermain dengan ponselnya. Aku tersenyum, dan aku hanya
bisa mengatakan “Aku cuma ingin bilang, senyum kamu tuh kayak sweater...”
ucapku setengah-setengah, aku sengajakan agar Bima penasaran, “Ko? Kenapa?”
tanyanya yang mulai penasaran “Soalnya hangat kayak cahaya musim panas yang
muncul setelah musim dingin”, aku tersenyum dan dia tersenyum.
Baiklah, aku
akan tetap memakai sweaterku, sampai sang bintang turun ke bumi dari orbitnya.
NB : Jangan lupa comment nya ya :)
aaaakkkk mutiaaaaaaa
BalasHapussebuah teriakan terlontar begitu saja ketika membaca kata fathur. aku dapat menebak siapa fathur, tasya, risa dan kevin serta tokoh aku dan kekasihnya.
ngerasa gantung sama ceritanya. kurang panjang. bikin part 2 nya wkwkwk
Yeah anda bisa menebaknya!! Emang udah ada niatan untuk bikin art 2 nya sih, insyaallah deh :)
HapusSambung lagi dongg :-D
BalasHapus